Beranda | Artikel
Ulama-Ulama Pembela Dakwah Salafiyah Dahulu Hingga Sekarang (1)
Selasa, 13 Mei 2008

Sesungguhnya segala puji milik Allah subhanahu wa ta’ala. Kami memohon pertolongan, ampunan, dan perlindungan kepada Allah dari keburukan-keburukan diri kami dan kejelekan-kejelekan amal perbuatan kami. Barang siapa diberi petunjuk oleh Allah subhanahu wa ta’ala, maka tidak ada seorang pun yang bisa menyesatkannya dan barang siapa disesatkan oleh Allah, maka tidak ada seorang pun yang bisa memberi petunjuk kepadanya.

Saya bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah Yang Maha Esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya dan saya bersaksi bahwa Muhammad hamba dan utusan-Nya. Sesungguhnya perkataan yang paling benar adalah Kalamullah; sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, seburuk-buruk perkara adalah perkara-perkara baru (tidak ada dasarnya di dalam agama). Setiap perkara baru adalah bid’ah. Setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di neraka. Amma ba’du:

Sesungguhnya keistimewaan terbesar yang dimiliki dakwah salafiyah yang penuh berkah ini adalah tegaknya dakwah tersebut di atas sunnah yang shahih. Dakwah ini tidak bersandar kepada hadits-hadits lemah dan palsu. Pada keadaan seperti itu, para penuntut ilmu syar’i juga telah mengetahui secara jelas tentang pengertian hadits shahih dan syaratnya. Termasuk syarat terbesar adalah bersambungnya sanad dengan para perawi yang terpercaya. Ada juga syarat-syarat lain, yang sekarang tidak kami sebutkan. Karena termasuk syarat hadits shahih adalah bersambungnya sanad dengan para perawi yang terpercaya. Maka syarat orang yang menisbatkan dirinya ke dalam dakwah salafiyah, dakwah yang berdiri tegak di atas hadits yang shahih, harus memiliki silsilah dakwah itu sendiri. Artinya dia harus mengambil manhajnya dari para masyayikh dan ulamanya yang terpercaya. Para masyayikhnya juga, adalah para ulama yang mengambil manhajnya dari para masyayikhnya dan begitu seterusnya. Orang yang datang kemudian mengambil dari orang yang sebelumnya, seorang murid mengambil dari syaikhnya, anak mengambil dari ayah, cucu mengambil dari kakek, dengan sanad yang bersambung dengan orang-orang yang terpercaya dari kalangan para ulama besar dan tinggi. Meskipun bukan termasuk syarat majelis kita ini, membahas secara panjang lebar masalah ini hingga keluar dari topik pembicaraan majelis.

Hanya saja, di sini saya akan menyebutkan suatu hal yang penting, berkaitan dengan sekelompok orang yang masuk dari sana-sini, mengaku bermanhaj salaf dan mengaku menjalankan sunnah. Tetapi bila kamu periksa, perhatikan, dan teliti, kamu tidak mendapatkan silsilah yang shahih dari ahlul ilmi, yang dari mereka diambil masalah-masalah manhaj dan perkara-perkara aqidah. Di samping sanad mereka munqathi’ (terputus), bahkan mu’dhal (terputus dua orang atau lebih secara berturut-turut), bahkan kadang-kadang mu’allaq mukhalkhal (terputus dari awal sanad seorang atau lebih). Mengetahui masalah ini saja, sudah cukup untuk merobohkan pengakuan mereka, sudah cukup untuk menolak perbuatan mereka, serta menghancurkan persangkaan dan pemikiran mereka. Kita tidak perlu lagi banyak berdebat dan bicara. Saya berharap kepada saudara-saudaraku supaya memperhatikan masalah ini, merenungkan dengan seksama, dan memahami dengan sebaik-baiknya.

Memang dakwah kita berdiri di atas mata rantai para ulama yang terpercaya, ulama yang datang kemudian mengambil dari ulama yang sebelumnya, dan ulama muta’akhir (belakang) mengambil dari ulama mutaqaddim (dahulu). Ini adalah bukti kebenaran sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang dishahihkan oleh Imam besar Ahmad bin Hambal dan lain-lainnya bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُوْلُهُ يَنْفَوْنَ عَنْهُ تَحْرِيْفَ الْغَالِّيْنَ وَ انْتِحَالَ الْمُبْطِلِيْنَ وَ تِأْوِيْلَ الْجَاهِلِيْنَ

“Ilmu ini akan dibawa oleh orang-orang yang adil dari setiap generasi, mereka itu menentang perubahan orang-orang yang melampui batas, kedustaan orang-orang yang berbuat kebatilan, penyimpangan makna orang-orang bodoh.”

Sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَِ ; يَحْمِلُ adalah fi’il mudhari’ (kata kerja yang menunjukkan waktu sekarang dan akan datang), memberikan faidah terus-menerus dan berkesinambungan. Dan sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: من كل خلف artinya من كل جيل (dari setiap generasi). Sifat keseluruhan ini sesuai dengan maknanya secara sempurna. Maka, baik di zaman ini atau sebelumnya, pada setiap generasi umat ini, sejak dahulu dan sesudahnya, tidak pernah kosong dari orang yang menegakkan hujjah untuk Allah, orang yang menolong agama Allah ‘azza wa jalla dengan bayyinah (keterangan), meninggikan tauhid dengan burhan (bukti). Maka tegaklah prinsip ini di atas pondasinya, tegak di atas hujjahnya, dan dikuatkan oleh sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لَا يَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِيْنَ عَلَى الْحَقِّ لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَالَفَهُمْ وَ لَا مَن خَذَلَهُمْ اِلَى أَنْ تَقُوْمُ السّاََعَةُ وَهُمْ عَلَى ذَلِكَ

“Senantiasa ada segolongan dari umatku yang menegakkan kebenaran tidak membahayakan mereka orang-orang yang menyelisihinya dan tidak pula orang-orang yang menghinakannya sampai terjadi kiamat dan mereka tetap dalam keadaan demikian.”

Sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: لَا يَزَالُ (senantiasa) juga memberi faidah terus-menerus. Dan sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

اِلَى أَنْ تَقُوْمُ السّاََعَةُ

“Sampai terjadi kiamat.” menguatkan kepada faidah tersebut.

Di sini ada catatan, bahwa kata tha’ifah kadang-kadang diucapkan dengan makna jama’ah (sekelompok orang) dan kadang-kadang diucapkan dengan makna satu orang. Maka jumlah paling sedikit untuk tegaknya kebenaran yang agung, yaitu kebenaran yang didakwahkan oleh ulama-ulama kita dan ditegakkan oleh pembesar-pembesar kita di dalam dakwahnya, adalah tidak kosongnya zaman dari satu orang ulama yang meninggikan kalimat Allah dan menegakkan kebenaran.

Wahai saudara-saudaraku, sebagaimana dikatakan, ini adalah mukadimah yang harus ada, agar persoalannya dapat tercakup. Yang demikian itu seperti jalan yang sudah diratakan untuk kita masuki dengan suatu hal sedikit demi sedikit, berupa sebutan baik dan agung untuk ulama-ulama besar kita pada zaman dahulu hingga sekarang.

Andaikata kita mau menyebutkan secara tuntas, kita pasti memerlukan majelis yang panjang, bahkan beberapa majelis, berhari-hari, berbulan-bulan, dan bertahun-tahun. Tetapi, mukadimah di atas adalah petikan yang kami harapkan bisa memberikan penerangan. Walaupun saya tidak bisa mengatakan sudah cukup dan tidak pula mengatakan sudah terpenuhi. Hal itu agar dapat menerangi pikiran, sehingga kita terpacu membahas dan memperhatikan riwayat hidup para ulama yang akan kita pilih untuk dibicarakan. Sebab kalau tidak demikian, bila kita menghendaki untuk menyebutkan secara keseluruhan, pasti hal itu akan menjadi luas tidak terbatas dan menjadi banyak tidak terhitung. Tetapi kita akan membicarakan dalam waktu yang singkat ini beberapa petikan yang berkaitan dengan ulama-ulama dakwah salafiyah semenjak dahulu hingga sekarang yang memiliki posisi dan pengaruh di dalam dakwah yang penuh berkah ini. Kita tidak ingin memulai dari kalangan sahabat, karena mereka fondasi pertama dalam dakwah tersebut. Tetapi kami ingin memulai dengan ulama yang mengalami pertentangan pada masanya, dan kebenaran tidak diketahui kecuali dengan lawannya sebagaimana yang dikatakan oleh pensyair:

الضِّدُ يُظْهِرُ حُسْنَهُ ضِدُّهُ – وَبِضِدِّهَا تَتَمَيّزُ الْأَشْيَاءُ

Sesuatu itu dinampakkan kebaikannya oleh lawannya

Dengan lawan sesuatu akan menjadi jelas

Pertama, Imam Besar Ahmad Bin Hambal -rahimahullah-

Dia hidup di masa bergelombangnya akidah yang rusak dan bergeraknya pendapat yang tidak bermanfaat. Dia menghadapi keadaan tersebut dengan kokoh, kuat, dan teguh, sehingga jatuh dalam kesusahan ujian dan fitnah. Tetapi tetap sabar dan teguh, walaupun disiksa dalam fitnah Khalqil Qur’an (fitnah aqidah yang menyatakan Al Quran adalah makhluk). Beliau dituntut agar diam dari lawannya, bukan meninggalkan kebenaran. Tetapi dia tidak peduli, maka disiksa, dipenjara, diikat, dan diusir. Tetapi dia hadapi semua itu dengan tabah, karena di jalan Allah dan ringan karena di dalam ketaatan kepada Allah. Ketika datang sebagian sahabatnya berkata kepadanya, “Wahai Abu Abdillah, andaikata engkau diam saja (maka engkau tidak disiksa)!” Dia berkata: “Apabila saya diam dan kamu diam, maka siapakah yang akan mengajari orang yang bodoh dan kapan akan mengajari orang yang bodoh?”

Ini adalah salah satu alamat dan pintu dakwah ini. Kesabaran dan keteguhan ini menjadi contoh dan teladan bagi kita dari para imam kita dan mereka berhak mendapatkannya. Semoga Allah memberi rahmat kepada mereka setelah meninggal dunia, dan menjaga mereka untuk kita ketika mereka masih hidup. Allah meninggikan nama mereka, karena kesabaran, keimaman, dan amanahannya, serta mereka menegakkan kebenaran dengan larangan dan perintah-Nya.

Pengaruh Imam Ahmad juga mempengaruhi imam Abul Hasan al Asy’ari. Di zaman ini banyak orang menisbatkan diri kepadanya, bahkan sejak dahulu. Dia mengatakan di dalam kitabnya, Maqalat Islamiyyin wa Ikhtilaf Mushallin, setelah menyebut aqidah Ahlu Sunah Ashabul Hadits “Ini semuanya adalah aqidah Imam Ahmad bin Hambal, saya berjalan di atas jalannya, dan mengikuti serta menyeru aqidahnya.” Atau seperti apa yang dia katakan. Di sini kami akan mengingatkan suatu hal, yaitu banyak sekali orang-orang khusus maupun orang-orang umum yang menisbatkan dirinya kepada Abul Hasan al Asy’ari, tetapi penisbatannya tidak benar. Meskipun mereka menisbatkan kepada namanya, tetapi kenyataannya mereka tidak menisbatkan kepadanya dalam aqidah maupun manhaj.

Imam Abul Hasan, dahulu penganut paham mu’tazilah. Kemudian sebagaimana dalam kisah yang masyhur, dia berdiri di atas mimbar di hadapan banyak manusia lalu melepas bajunya dan berkata, “Aku bersaksi kepada Allah, kemudian besaksi kepada kalian bahwasanya saya melepas paham mu’tazilah dari diriku, sebagaimana saya melepas bajuku ini.” Ini juga merupakan tanda kejujuran kepada Allah, kejujuran kepada manusia, dan kejujuran kepada diri sendiri dalam menaati Allah.

Tetapi suatu hal yang sudah jelas wahai saudara-saudaraku, kembali dari sesuatu tidak cukup dalam sehari semalam. Kebersihan sesudah kotor, tidak seperti selembar kertas yang disobek dari buku atau perkataan yang ditinggalkan, pasti masih terdapat pengaruh-pengaruh kotorannya. Dalam meninggalkan paham mu’tazilah atau setelah meninggalkan paham mu’tazilah, imam Abul Hasan Al Asy’ari belum terlepas dari sisa-sisa yang masih melekat pada dirinya. Setelah itu, di dalam kitabnya al Ibanah fi Ushulid Diyanah, di dalam kitabnya Maqalat yang sudah saya isyaratkan tadi, dan di dalam kitabnya Risalah ila Ahli Tsaghar, di dalam ketiga kitab ini, nampak keadaannya secara jelas dan terang. Bahkan dia menjelaskan secara terang, tanpa ada kesamaran, bahwa dia di atas aqidah salafiyah.

Memang banyak orang dari kalangan Asy’ariyah yang menisbatkan kepada Abul Hasan. Ya, mereka itu tidak berada pada jalan mu’tazilahnya yang pertama, tetapi juga tidak pada jalan salafiyahnya yang terakhir. Mereka berada pada tingkatan kedua, bukan dari mu’tazilah dan bukan dari Sunnah. Tetapi jalan yang bercampur di dalamnya antara amal shalih dan amal buruk. Padahal tidak boleh menisbatkan kepada Abul Hasan dalam hal yang sudah ditinggalkannya. Mereka itu menyelisihi Abul Hasan dan menyelisihi aqidah salaf yang dia telah menyatakan untuk mengikuti dan tetap di atas aqidah tersebut. Inilah, wahai saudaraku, Imam Ahmad dalam cuplikan yang sangat sedikit tentang sikap dan keteguhannya, tetapi dia adalah ulama besar dakwah ini sepanjang sejarah ini di abad-abad pertama.

Kedua, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rahimahullah-

Adapun di abad-abad pertengahan, sebagaimana yang sudah saya katakan, di dalam waktu yang singkat ini saya tidak bisa menyebutkan setiap ulama untuk setiap abad. Akan tetapi saya hanya akan menyebutkan orang-orang yang memiliki tanda-tanda yang menonjol. Kami menyebutkan pada abad-abad pertengahan, pada abad ke delapan, Syaikhul Islam, seorang ulama besar, seorang imam, Abul Abbas, Ahmad bin abdul Halim bin Abdus Salam, Ibnu Taimiyah An Numairi Ad Dimasyqi Al Harrani rahimahullah. Beliau telah menulis kitab-kitab, menyusun tulisan-tulisan, menempatkan kaidah-kaidah dan menjawab masalah-masalah.

Demi Allah, demi Allah dan demi Allah, hampir saya bersumpah secara khusus, bahwasanya tidak ada syubhat yang kamu hadapi di masa-masa ini setelah delapan abad dari kematian Imam ini -wahai saudaraku yang mendapatkan taufik- di dalam masalah aqidah dan agama yang termasuk masalah-masalah ahli bid’ah lalu kamu mencarinya di dalam kitab-kitabnya, kamu teliti di dalam tulisan-tulisannya dan risalah-risalahnya, atau fatwa-fatwa dan jawaban-jawabannya, maka kamu akan mendapatkan jawabannya. Jika kamu tidak mendapatkannya maka hal itu disebabkan ketidakmampuan dalam mencarinya, bukan karena Ibnu Taimiyah tidak menyebutkan jawaban. Masalah ini saya harapkan agar dipahami secara baik sehingga nampak kemampuan Imam ini, kekuatan ilmunya, keluasan akalnya, kejeniusan otaknya -semoga Allah memberi rahmat kepadanya.

Apabila kamu ingin tahu kedudukan Ibnu Taimiyah, maka ketahuilah bahwa Ibnul Qayyim adalah muridnya. Apabila kamu ingin tahu ukuran kejeniusan yang diberikan oleh Allah kepada Ibnu Taimiyah, maka ketahuilah bahwa Imam Ibnu Katsir termasuk muridnya. Daftar nama-nama muridnya akan menjadi panjang dengan menyebutkan: Al Mizzi, Ibnu Rajab, Ibnu Abdil Hadi, yang termasuk murid-muridnya atau murid-murid sahabat-sahabatnya dari kalangan Imam-imam besar yang memenuhi sejarah Islam. Saya tidak hanya mengatakan, mereka memenuhi perpustakaan Islam saja, bahkan mereka memenuhi sejarah Islam dengan kesungguhan, perjuangan, ilmu, akhlak, adab, tingkah laku mereka dan banyak lagi hal-hal lainnya.

Imam Ibnu Taimiyah juga pada masanya, dia hidup di masa bergelombangnya fitnah-fitnah dan tersebarnya ujian-ujian. Mulai fitnah Tatar sampai fitnah Syiah, juga fitnah tersebarnya mazhab Asy’ariyah yang menyimpang dan lain-lainnya. Dia turun di setiap medan bagai tentara berkuda yang besar dengan membawa pedang, pena, dan mata lembing. Dia menulis, berjihad, dan membela. Dia diperdaya, dimusuhi, dan bersabar. Hingga pada suatu saat dia mendapat kehormatan dari sebagian sulthan (penguasa). Sulthan tersebut datang kepada Ibnu Taimiyyah dengan membawa musuh-musuhnya yang memfitnah tentang dirinya, memenjara, menyakiti, mengusir dan menzhaliminya. Sulthan berkata kepadanya, “Apa yang akan kamu lakukan kepada mereka?” Dia menjawab, “Saya memberi maaf kepada mereka.” Maka mereka kagum kepadanya. Mereka berkata, “Wahai Ibnu Taimiyyah, kami menzhalimimu dan kamu mampu untuk membalasnya, tetapi kamu memberikan maaf?” Dia menjawab, “Ini adalah akhlak orang-orang beriman.”

Memang, akhlak ini sebenarnya tidak di miliki kecuali oleh orang-orang istimewa saja. Yaitu, kamu memberi maaf, padahal kamu pada posisi yang tinggi, terlebih-lebih setelah banyak dizhalimi oleh orang yang diberi maaf. Oleh karena itu, apabila kita membaca di dalam sejarah, kita tidak mendengar seorang yang namanya Bakri dan Akhna’i kecuali karena Ibnu Taimiyyah telah membantah keduanya. Di mana nama Ibnu Taimiyyah selalu naik dan melambung sebagaimana firman Allah:

وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ

“Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu.” (QS. Alam Nasyrah: 4)

Imam Ibnul Qoyyim berkata tentang ayat ini, “Sesungguhnya setiap orang yang menolong sunah, meninggikan sunah, dan mendukung Ahlu Sunah, dia mendapatkan bagian dari firman Allah “Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu?” (QS. Alam Nasyrah: 4) dan setiap orang yang merusak sunah dan menentang Ahlu Sunah, dia mendapatkan bagian dari firman Allah,

إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ اْلأَبْتَرُ

“Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu, dialah yang terputus.” (QS. Al Kautsar: 3)

Mereka (musuh-musuh sunah) itu terputus, sedangkan mereka (penolong-penolong sunah) dengan sunah mendapatkan pertolongan dan derajat ketinggian. Lihatlah anjuran dan jihad Ibnu Taimiyah terhadap bangsa Tatar dalam peperangan Syaqhab. Ada orang yang berkata, “Sesungguhnya kami pasti akan menang!” Maka Ibnu Taimiyah berkata kepadanya, “Katakanlah insya Allah!” Dia berkata: “Saya mengatakan insya Allah sebagai perwujudan bukan penundaan.” Karena dia percaya kepada pertolongan Allah, merasa tenang dengan taufik dari Allah, dan bertawakal kepada Allah. Dan barang siapa bertawakal kepada Allah, maka Allah mencukupinya.

Inilah Ibnu Taimiyyah. Dia telah menulis bantahan kepada Asy’ariyah dan Mutakallimin (ahli filsafat) dalam kitab-kitab yang besar. Di antaranya, kitab bantahan kepada Fakhruddin Arrazi yang telah membangun mazhabnya yang menyimpang dalam sebuah kitab yang dinamakan dengan at-Ta’sis. Ibnu Taimiyyah menulis bantahan kepadanya sebanyak 4 jilid. Kitab yang dibantah tersebut sekitar kurang lebih seratus halaman, dibantah oleh Ibnu Taimiyyah dengan sebanyak 4 jilid. Berisi tentang penjelasan kesesatan Jahmiyyah dan pembongkaran dasar-dasar bid’ah kalamiyah (filsafat). Kitab tersebut, dua jilid besar telah di cetak dan selebihnya -isya Allah- akan dicetak dalam waktu dekat.

Dia juga menulis bantahan kepada Al Amidi, Al Ghazali, dan lain-lainnya dalam sebuah kitab yang besar sekali yang diberi nama Dar’u Ta’arudil ‘Aql wan Naql. Kitab tersebut punya nama lain. Kedua nama tersebut adalah nama satu kitab dan sebagaian orang menyangka dua nama kitab itu nama untuk dua kitab. Yaitu kitab Muwafaqatu Shahihil Manqul li Shahihi Ma’qul yang di tulis untuk membantah kelompok di atas.

Dia juga menulis bantahan kepada kelompok Syi’ah yang buruk, dengan sebuah kitab yang di beri nama Minhajus Sunah Nabawiyah fi Naqdi Kalamisy Syi’atil Qadariyah. Dia menulis dalam 10 jilid sebagai bantahan kepada salah satu pembesar mereka yang bernama Al Muthahhar al Hilli atas kitabnya yang berjudul Minhajul Karamah. Dia membantahnya dalam 10 jilid. Kelompok Syiah sudah dikenal sebagai musuh bebuyutan. Mereka selalu mencari kesalahan apa saja yang dilihatnya. Bahkan sampai sekarang mereka tidak bisa membantah dan menjawab hujah-hujah dan dalil-dalilnya. Oleh karena itu kamu melihat mereka diam, membisu, tidak mau berbicara. Kitab tersebut masih tetap terus dicetak, diterbitkan, bahkan diterjemah dan dipelajari. Orang-orang syiah tidak bisa bergerak di hadapan kitab tersebut. Inilah Ibnu Taimiyah, seorang Imam yang merupakan ulama terbesar bagi dakwah yang agung dan penuh berkah ini.

Dengan melihat sejarah dan riwayat hidupnya, akan didapatkan banyak hal tentang Ibnu Taimiyah. Tetapi yang terlintas secara khusus dalam diri adalah suatu hal, yaitu bahwa Ibnu Taimiyah meninggal dunia di dalam penjara karena tipu daya dan difitnah oleh musuh-musuhnya di hadapan sulthan (penguasa). Meskipun demikian, ahli sejarah mengatakan tatkala Ibnu Taimiyah meninggal dunia di dalam penjara dan dikeluarkan jenazahnya, maka semua penduduk Damaskus keluar, kecuali empat orang karena takut bila mereka keluar akan dibunuh oleh orang-orang, karena mereka adalah musuh-musuh Ibnu Taimiyah. Penduduk Damaskus semuanya keluar mengusung jenazahnya. Oleh karena itu perkataan yang masyhur dari Imam Besar Ahmad bin Hambal adalah, “Katakanlah kepada Ahli bid’ah: Perjanjian antara kami dan kalian adalah hari jenazah.”

Kalau kita melihat muridnya, Imam Ibnul Qoyyim yang saya katakan -dan saya berharap tidak berlebih-lebihan, “Dia adalah murid terbaik dari ulama terbaik sepanjang abad.” Karena dia memahami prinsip-prinsip dakwah Ibnu Taimiyah, mengolah kaidah-kaidahnya, kenyang dari semua sisi-sisinya, menimba dari semua sumber-sumbernya, dan melebihi syaikhnya dalam sesuatu yang tidak dicapai oleh syaikhnya, yaitu keindahan tutur katanya dalam menerangkan. Tetapi saya ingin mengoreksi kepada diri saya dengan mengatakan, bahwa kita tidak mendapatkan perkataan Ibnu Taimiyyah yang indah dalam karangannya, sebagaimana kita mendapatkan pada Ibnul Qayyim, yang sebagiannya telah di terangkan tadi, bukan berarti Ibnu Taimiyyah tidak memiliki kemampuan yang sempurna dari sekedar membuat karangan dan melebihi Ibnul Qayyim. Tetapi karena kemampuannya atau kehidupannya penuh dengan cobaan, beliau tidak memiliki waktu dan kesabaran yang cukup untuk menyusun makna-makna dan kata-kata sebagaimana yang dimiliki oleh muridnya Ibnul Qayyim. Ini adalah masalah yang sangat penting untuk dicermati.

Di antara hal-hal yang berkaitan dengan Ibnu Taimiyah, saya akan menyebutkan suatu yang penting yaitu bahwa Imam Ibnu Taimiyyah rahimahullah memiliki perkataan yang indah, yang dia terapkan sendiri pada dirinya, dan disebarkan oleh murid-murid beliau. Sampai sekarang kita mengulang-ulanginya, karena perkataan itu diambil dari firman Allah. Perkataan itu adalah:

بِالصَّبْرِ وَ الْيَقِيْنِ تُنَالُ اْلإِمَامَةُ فِي الدِّيْنِ

“Dengan kesabaran dan keyakinan, keimaman dalam agama dicapai.”

Perkataan ini dibenarkan oleh firman Allah:

وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِئَايَاتِنَا يُوقِنُونَ

“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar.Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. As Sajadah: 24)

Inilah Ibnu Taimiyyah, seorang ulama yang sangat terkenal di medan dakwah untuk mentauhidkan Allah ‘azza wa jalla.

-bersambung insya Allah-

***

  • Oleh: Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Halabi Al Atsari
  • Diterjemahkan oleh Azhar Rabbani dan Muslim Atsari, dari ceramah beliau di Surabaya, dengan judul A’lam Dakwah Salafiyyah
  • Sumber: Majalah As Sunnah
  • Dipublikasikan kembali oleh www.muslim.or.id

🔍 Apakah Di Akhirat Kita Bisa Bertemu Keluarga, Bacaan Untuk Dzikir, Amalan Setelah Sholat Ashar, Zakat Nuqud


Artikel asli: https://muslim.or.id/75-ulama-ulama-pembela-dakwah-salafiyah-dahulu-hingga-sekarang-1.html